Analisis Dampak Kurangnya Regenerasi Petani Muda Terhadap Industri Pertanian di Indonesia

Sebarkan:

Ninemedia.id - Petani memiliki peranan penting dalam perkembangan suatu bangsa. Salah satunya yaitu memenuhi kebutuhan hidup suatu bangsa yakni penyedia pangan. Keberhasilan petani dalam produksinya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mendukung. Petani akan dapat memproduksi hasil pertanian dengan baik jika berbagai kebutuhannya dapat dipenuhi. 

Sehingga produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi. Namun, seiring perkembangan jaman petani dihadapi berbagai permasalahan dalam proses produksi yang dilakukannya. 

Permasalahan tersebut di pengaruhi oleh berbagai faktor yang menyebabkan kualitas produksi petani semakin menurun. Banyaknya permasalahan yang dihadapi membuat jumlah petani semakin menurun, sehingga menyebabkan krisis petani di Indonesia. 

Jika tidak ditanggulangi dengan cepat, krisis petani yang terjadi di Indonesia akan mengancam ketahanan pangan di Indonesia.

Berdasarkan data yang diperoleh dari FAO (2018), jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya mengalami laju pertumbuhan sebesar 1,9 persen/ tahun. Jadi setiap tahunnya rerata penduduk Indonesia akan bertambah sebanyak 2 juta jiwa. 

Jumlah penduduk Indonesia yang terus mengalami pertambahan membuat pemerintah harus meningkatkan produksi pangan. Karena, pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret ukur. 

Sementara itu, peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung yang artinya laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan ketersediaan pangan.

[cut]

Ketergantungan Indonesia yang besar terhadap impor sejumlah komoditas pangan utama menyebabkan Indonesia terancam menghadapi krisis pangan. Berdasarkan data dari UN Comtrade pada tahun 2017, Indonesia mengimpor beras sebesar 3 juta ton. Selain itu, pada tahun 2016 Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,2 juta ton. Jika Indonesia terus melakukan impor pangan maka dapat menyebabkan defist neraca perdagangan, sehingga dapat menimbulkan banyak permasalahan bagi negara Indonesia. 

Kondisi tersebut dapat lebih parah jika krisis petani tidak segera diatasi. Berkurangnya jumlah petani secara terus menerus, sedangkan permintaan pangan meningkat akan menyebabkan Indonesia terancam mengalami krisis pangan. 

Krisis pada petani membuat pemerintah kesulitan memenuhi pasokan pangan dalam negeri. Petani yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia mengakibatkan kelangkaan pangan. 

Selain itu, jika pemerintah mengalami kesulitan dalam mengimpor pangan maka penduduk Indonesia akan kesulitan untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkannya. Akibatnya Indonesia akan mengalami krisis pangan yang menyebabkan berbagai masalah di negara Indonesia.

Tertariknya sumberdaya manusia yang potensial dari sektor pertanian ke sektor industri dapat mempengaruhi dan menghambat produktivitas pertanian karena sumberdaya manusia yang berkualitas mampu menjadi penggerak pembangunan pertanian (Raya dan Subejo, 2010). 

Sementara itu menurut (Sumodiningrat, 1999), pembangunan pertanian dihadapkan pada dilema yang sulit untuk dipecahkan secara cepat. Satu sisi lahan pertanian yang semakin menyempit karena penggunaan lahan pertanian untuk kegiatan industri dan perumahan. 

Di sisi lain, budaya masyarakat terutama generasi muda yang semakin meninggalkan kegiatan pertanian. Mereka menilai bahwa pertanian tidak banyak memberikan harapan yang nyata bagi masa depannya dan lebih cenderung beralih ke sektor non pertanian atau industri yang dapat memberi harapan di masa depan. 

Selain itu, semakin tingginya tingkat pendidikan pemuda di perdesaan, maka mereka semakin selektif dalam memilih pekerjaan. Para pemuda mengalami perubahan persepsi seiring dengan arus modernisasi sehingga menjadi petani tidak lagi menjadi pilihan utama mereka. Padahal Indonesia membutuhkan petani-petani yang produktif untuk memaksimalkan produksi pangan.

[cut]

Orang muda pindah ke kota-kota dimana institusi pendidikan kejuruan yang memberikan kesempatan kerja di kota setelah lulus berada. Begitu mereka menerima pendidikan tinggi atau kejuruan, profesional muda tidak kembali ke daerah pedesaan. 

Rendahnya tingkat upah dan kondisi kerja dan kehidupan yang tidak memuaskan di daerah pedesaan tidak menarik bagi lulusan muda. Karena itu, jumlah lulusan perguruan tinggi dan institusi pendidikan menengah kejuruan yang kembali ke daerah perdesaan berkalikali lebih rendah. 

Situasi ini menyebabkan masalah dalam menghasilkan tenaga kerja khusus di daerah pedesaan (Bednarikofa dkk., 2016). Selain itu, banyak penduduk desa yang juga menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Menurut Karlina & Arif (2017), Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan program pemerintah untuk meningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya dengan memanfaatkan kesempatan kerja internasional yang tersedia melaui peningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan praktek. 

Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri: “Tenaga Kerja Indonesia yang kemudian disebut TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang mempunyai syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja dalam jangka waktu tertentu dengan menerima upah”. 

Banyak cerita kesuksesan para TKI yang berhasil meningkatkan taraf hidupnya dan keluarganya yang ada di daerah asal. Hal tersebut membuat sebagian masyarakat menjadi tertarik mencoba mengikuti jejak mereka agar memperoleh penghasilan yang lebih besar jika dibandingkan bekerja di dalam negeri. Bekerja di luar negeri diharapkan dapat memperbaiki taraf hidup pribadi dan keluarga.

Adanyan urbanisasi dan buruh migran membuat jumlah tenaga kerja di daerah khususnya di pedesaan menjadi berkurang. Di Indonesia pergeseran jumlah penduduk di perdesaan ke perkotaan juga terjadi. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 3 yang memperlihatkan perkembangan jumlah penduduk di perdesaan dan perkotaan dari tahun 1950 sampai tahun 2017. 

Jumlah penduduk kota dari tahun ke tahun cenderung bertambah dan mulai tahun 2011 jumlah penduduk di kota melebihi jumlah penduduk di desa. Laju pertumbuhan penduduk di desa dari tahun 2011 terus mengalami penurunan sebesar 0,4% setiap tahunnya. 

Sedangkan jumlah penduduk di kota dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan sebesar 4%. Jika hal tersebut terus terjadi maka lahan pertanian yang umumnya terletak di desa akan semakin ditinggalkan. 

Keengganan orang muda untuk bekerja di sektor pertanian dan spesialisasi pertanian khususnya dikombinasikan dengan keengganan orang-orang yang berpendidikan pertanian untuk bekerja di perusahaan pertanian terpencil dapat memiliki konsekuensi negatif bagi bisnis pertanian dan agroindustri, pasar tenaga kerja pertanian dan pembangunan daerah.

[cut]

Fenomena menurunnya minat pemuda untuk bekerja di sektor pertanian mempunyai konsekuensi bagi keberlanjutan sektor pertanian di masa depan. Bertambahnya jumlah penduduk setiap tahun yang diikuti oleh permintaan pangan menyebabkan beban sektor pertanian semakin berat. 

Minat pemuda sebagai generasi penerus petani harus ditumbuhkan untuk kembali ke sektor pertanian dan bertanggung jawab dalam peningkatan produksi dan produktivitas pertanian dan penyediaan pangan nasional (Susilowati, 2016a). 

Selama sepuluh tahun terakhir jumlah tenaga kerja perdesaan yang bekerja dan mencari pekerjaan di kota semakin bertambah. Sebagian besar berorientasi pada pekerjaan di sektor non pertanian, baik di sektor formal maupun nonformal (Sumaryanto dkk., 2015). Pada gambar 2 dapat dilihat perkembangan tenaga kerja pertanian dan non pertanian d Indonesia tahun 2013 sampai dengan 2017. Perkembangan tenaga kerja di sektor pertanian berfluktuatif, namun memiliki kecenderungan yang menurun dari tahun 2013 sampai dengan 2017. Sedangkan di sektor non pertanian jumlah tenaga kerja cenderung meningkat setiap tahunnya.

Menurut Susilowati (2016), terdapat faktor internal dan eksternal yang menyebabkan sektor pertanian semakin ditinggalkan oleh pemuda. Faktor internal merupakan faktor yang disebabkan oleh kondisi internal individu atau sektor pertanian yang kurang memberikan daya tarik kepada pemuda untuk bekerja di pertanian. Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) luas lahan sempit dan status kepemilikan lahan, (2) sektor pertanian kurang memberikan prestise sosial, kotor, dan berisiko, (3) ketidakcocokanantara kualitas pendidikan dan kesempatan kerja yang tersedia di desa, (4) anggapan pertanian berisiko tinggi sehingga kurang memberikan jaminan tingkat, stabilitas, dan kontinuitas pendapatan, (5) tingkat upah dan pendapatan di pertanian rendah, (6) diversifikasi usaha nonpertanian dan industri pertanian di desa kurang atau tidak berkembang, (7) suksesi pengelolaan usaha tani kepada anak rendah, (8) belum ada kebijakan insentif khusus untuk petani muda atau pemula, (9) terbatasnya akses dukungan layanan pembiayaan dan penyuluhan pertanian, (10) terbatasnya infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi).

Faktor eksternal, adanya insentif yang lebih tinggi di sektor non pertanian dan persepsi pemuda jika bekerja di sektor non pertanian di perkotaan lebih bergengsi. 

Mereka lebih senang merantau ke kota meskipun hanya menjadi kuli bangunan atau bekerja di pekerjaan non formal lainnya. Bagi yang berpendidikan tinggi, mereka bekerja di pekerjaan formal seperti menjadi pegawai negeri, atau di sektor industri, jasa, dan lainnya (Susilowati dkk., 2012). 

Faktor eksternal lainnya yang memicu kaum pemuda lebih memilih bekerja di sektor non pertanian adalah pengaruh kota sebagai pusat pembangunan. Adanya pembangunan di perkotaan yang pesat membuat infrastruktur di kota berkembang dan mendorong pemuda untuk bekerja ke sektor-sektor industri, perdagangan, dan jasa. 

Selain itu, perubahan struktur budaya dikalangan generasi muda akan mengubah gaya hidup, perilaku, aspirasi sosial, dan pola pemikiran generasi muda, selain itu terbatasnya akses informasi dan teknologi yang memadai di perdesaan dan struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif dampak dari posisi rebut tawar yang sangat lemah membuat pemuda lebih tertarik untuk bekerja atau pindah ke perkotaan (Susilowati, 2016). Dukungan keluarga dan masyarakat sekitar sangat penting karena dapat mempengaruhi minat pemuda untuk bertani (Oktaviani, 2017). (Penulis : Fadhli Zul Karami dan Abdul Azizi )

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini